Menghormati Ilmu Orang Lain
Semua orang dengan berbagai macam sifat dan karakternya, maka seyogyanya harus menghormati ilmu yang dimiliki oleh orang lain.
Ilmu apapun itu harus dihormati, selama ajarannya baik dan bisa bernilai manfaat bagi sesama.
Di masyarakat kita, menghormati ilmu masih terbilang sesuatu hal yang tidak begitu diagung-agungkan.
Nyatanya, dalam pergaulan sehari-hari, penghargaan ilmu yang dimiliki orang lain masih rendah. Ilmu dianggap sesuatu hal yang biasa-biasa saja, maksudnya tidak dinilai sebagai sesuatu hal yang tinggi. Hanya sebagian orang yang paham kedudukan ilmu sebagai sesuatu hal yang tinggi dan perlu dihormati setinggi-tingginya.
Saya ambil kasus seperti ini. Guru honorer di Indonesia memiliki gaji yang jauh dari kata sejahtera. Padahal guru honorer ini sangat berjasa untuk kemajuan bangsa dan negara. Mengapa jerih payah mereka saat mengajar dengan berbagai kendala masih saja dibayar murah? padahal ilmu yang diberikan seorang guru kepada siswa itu nilainya tinggi?
Hal seperti di atas dapat terjadi karena, manusia yang sifatnya “meremehkan” ilmu yang dimiliki seseorang.
Dan seandainya pemimpin negeri ini sadar akan tingginya ilmu, maka sudah pastilah negara ini berani membayar guru honorer (terutama) dengan gaji yang pantas? karena masih banyak rekan-rekan saya yang honorer dibayar murah. Ada yang 200ribu per bulan dan seterusnya. Miris ya? iya, memang miris namun inilah realitas yang ada dan harus dicari solusinya secara bersama.
Saya ambil contoh lain. Teman saya yang memiliki keahlian coding dan web developers, termasuk aplikasi android beberapa kali dimanfaatkan oleh pihak yayasan di sekolah untuk menciptakan inovasi untuk membangun sekolah lebih maju. Namun nyatanya apa? teman saya yang guru ini tidak dibayar sama sekali, ujung-ujungnya dia kecewa. Dan ini terjadi pada saya juga yang lembur pagi, siang, dan malam membuat dan mengurusi website instansi namun tidak dapat upah sepeserpun. Bahkan, yang lebih miris, saat akan pendaftaran website terkadang harus memakai uang kantong sendiri walaupun nanti dibayar belakangan. Hal semacam ini menunjukkan bahwa masih banyak lembaga instansi/yayasan yang tidak profesional serta tidak “menghormati ilmu” yang dimiliki orang lain.
Silakan baca juga: Proyek 1M
Seandainya mereka sadar bertapa berharganya ilmu orang lain, pasti mau suka rela membayar dengan harga yang pantas. Eh tapi ada juga lho, orang yang suka dengan “harga teman”. Kalo saya pribadi tidak pernah membeli sesuatu hal kepada teman dengan “harga teman”, karena hal semacam ini saya hindari, karena saya masih menghormati ilmu orang lain.
Saat hape saya rusak dan ada rekan kantor saya yang bersedia untuk memperbaiki (karena dia membuka jasa service hape freelance), maka sayapun membayarnya dengan harga yang pantas (umum). Walaupun saya berteman akrab dengannya. Saya tidak mau membayar murah ketika orang lain sudah susah payah memperbaiki hape yang saya miliki. Saya juga harus tahu berapa harga service hape dengan kerusakan hape pada bagian “X” tersebut.
Saat paman saya terkena diabetes, dia kemudian periksa dan ikhtiar ke pengobatan tradisional yang menggunakan tanaman herbal. Saat selesai periksa, seorang farmakolog yang lulusan perguruan tinggi ternama bilang “bayar seikhlasnya”. Nah, terkadang istilah “bayar seikhlasnya” itu menurut penafsiran banyak orang itu “bayar bebas, mau cuma 10ribu atau nominal yang kecil, misalnya”. Padahal istilah “bayar seikhlasnya” itu bukan membayar dengan harga yang murah. Paman saya tersebut tidak mau membayar seikhlasnya. Jadi ceritanya paman saya mencari informasi di internet, atau dokter tentang biaya yang dikeluarkan saat konsultasi penyakit diabetes dengan tambahan obat tradisional. Maka didapatlah perkiraan harga sebesar “X” rupiah. Maka, paman saya akan membayar ke farmakolog tersebut sesuai dengan harga “X” rupiah yang disarankan tersebut. Jadi tidak mau asal bayar saja. Ini dilakukan oleh paman saya karena, paman saya selalu “menghormati ilmu” yang dimiliki orang lain.
Tentunya, masih banyak contoh-contoh di masyarakat kita yang keliru dalam menafsirkan “ilmu”, sehingga dalam pengaplikasian terhadap sesama masih belum benar. Maka dari itu, penting sekali bagi orang yang paham tentang tingginya suatu ilmu, maka sudah sepantasnya kedudukan ilmu itu harus dipandang sebagai sesuatu hal yang tinggi. Dengan begitu, maka kita tidak akan menjadi manusia yang meremehkan “ilmu” apapun itu jenisnya.
Memahami pentingnya “ilmu” sebagai sesuatu hal yang tinggi itu penting dididik dan ditumbuh-kembangkan pada tiap-tiap individu sejak lahir. Bahkan, sejak masa anak-anak, pendidikan sosial tentang pentingnya ilmu harus ditanamkan dari orang tua kepada si buah hati. Agar kelak ketika mereka dewasa, maka mereka akan memandang ilmu sebagai “berlian” yang harus dibayar mahal.
Yuk, sama-sama belajar untuk menghormati ilmu yang dimiliki oleh orang lain. Sehingga ketika kita menggunakan ilmu orang lain, maka kita harus membalasnya dengan sesuatu hal yang pantas dan tidak mengecewakan si empunya ilmu tersebut. Semoga bermanfaat.
Hal yang jujur aja masih belum banyak ditekankan waktu saya sekolah yaitu bagaimana Adab harus didahulukan sebelum Ilmu. Dan adab ini yang dalam pengalamanku juga minim diterapkan. Jadilah, segalanya dianggap remeh. Padahal guru honorer itu seringnya punya talenta dan cara mengajar yang lebih asik. Berharap nantinya pelajaran adab akan ada dan bisa diterapkan di mana saja.
Yang saya perhatikan, di lingkungan kita masih kurang yang menghargai orang yang memiliki ilmu tinggi, mereka hanya akan menghargai orang yang memiliki hrta tinggi. Padahal yang memiliki ilmu tinggi jauh lebih bijaksana dan baik (menurut saya yaa). Dan saya merasa senang membaca bahwa ada seseorang seperti paman anda. Semoga di dunia ini banyak orang yang seperti paman anda.
Di +62 masih banyak orang yang ngeremehin ilmu (sombong). Padahal dia gak tau, untuk dapetin ilmu itu butuh usaha keras banget, biaya, waktu dan juga tenaga. Orang model gini biasanya suka ngeremehin tenaga orang lain.
Sama kayak klien yang terkadang suka ngasih harga murah banget untuk nulis artikel! Dia gak tau kalo nulis itu gak mudah. Loh kok malah curhat sih. Ah biarin aja, biar sekalian dibaca sama klien yang suka ngasih harga murah hahahahahahhahahahahahahahahahahahahaahah
Wah, ikut sakit hati saya kalau sudah dibela-belain begadang, ternyata tidak dihargai dg layak. Insya Allah ada balasan dg cara lain ya ka.
Bener nih guru ngaji juga masih 200rb an sebulan. Padahal ilmu agama lebih mahal kan. Gimana mengenal ilmu yg lain kalau ngga paham ilmu agama. Mirisnya juga mereka dibayar lebih rendah dibanding yg lain.
Ada temen sejawat juga sesama honorer beliau sampai hutang aja untuk berangkat ke provinsi saat itu dlm rangka lomba. Katanya padinya belum panen. Kalau saya karena wanita sih gakapaapa. Tp kalau laki2? Tulang punggung keluarga, anak istri makan apa 200rb sebulan itu. Hiks sedihh
Aku enggak habis pikir kalau gaji honorer 200 ribu sebulan bahkan itu kurang untuk biaya transportasi bolak balik tempat kerja.
Belum biaya makan dll. Ya Allah semoga ada perubahan soal ini.
Memang masih banyak orang yang tidak bisa menghargai ilmu yang dimiliki orang lain, Mas. Dikiranya belajar itu gampang. Pun pada akhirnya kita bisa menyelesaikan satu pekerjaan dalam waktu yang singkat, itu karena kita sudah menginvestasikan waktu yang banyak agar bisa mencapai itu. Nah, yang dibayar bukan durasi pekerjaan, tapi masa yang sudah dihabiskan orang untuk mempelajari pekerjaan itu
Membayar harga teman itu sudah sepantasnya membayar lebih, kalau misal harga umum 450 maka harga teman jadi 500 atau 550 karena sebagai teman tahu banget kebutuhan temannya hehehe.
miris banget denger cerita temennya mas wahid yang ga dibayar…betul sekali kita harus menghargai ilmu orang lain. kadang kita lupa memposisikan diri sebgai orang lain bahwa mendapatkan dan mengamal suatu ilmmu tidaklah mudah.